|
“Suami saya memilih Katholik sebagai agama resmi dia. Tapi praktiknya, keyakinan dia Kejawen. Jika kami menuntut pernikahan dengan agama kami masing-masing, maka kami takkan punya akta kelahiran bagi anak kami, yang akhirnya, tanpa nama suami saya. Kolom agama di KTP kami menciptkan stigma lainnya di Indonesia.”—Dewi Kanti, penulis dan seniman Sunda Wiwidan, 36 tahun, dari Cigugur, Jawa Barat, menjelaskan diskriminasi yang diciptakan negara Indonesia, yang hanya mengakui enam agama, meminggirkan ratusan kepercayaan lokal, seperti dirinya, sebagai “keyakinan mistik”, yang membuat para penganutnya kesulitan menikah, mengajukan kata kelahiran dan mendapatkan pelayanan lain.
|